Selasa, 03 Agustus 2010

Evans Randy S 224407054

MAKALAH
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

DISUSUN OLEH:
Evans Randy S 224407054
S1 LOGISTIK B


STMT TRISAKTI JAKARTA







KATA PENGANTAR


Makalah dengan mengmbil judul tentang“Peranan Kompetensi Dalam Pengembangan Manajemen SDM” didasarkan pada suatu pemikiran bahwa permasalahan kompetensi merupakan wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi dihadapkan pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam. Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .


Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap manajer kecuali bagaimana organisasi mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik lebih pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat ,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan citra yang baik dimata masyarakat.

Karakteristik yang diperlukan dalam Organisasi public dewasa ini adalah kompetensi di orietasikan pada aspek entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas mempunyai wawasan pengetahuan (k n o w l e d g e) , ketrampilan (skill) dan sikap perilaku (attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja organisasi. Karakteristik kompetensi tersebut amat membantu keberhasilan organisasi dalam membawa misinya dengan memperhatikan keterkaitan dengan seleksi, perencanaan suksesi. Namun demikian, peranan kompetensi bagi organisasi tidak akan mampu memacu produktivitas yang tinggi tanpa dibarengi sistem penghargaan dan evaluasi kinerja yang terukur.
Dalam penulisan makalah ini tentu masih ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga.

Jakarta, july 2010




Penulis






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .I


DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . II


1. Pendahuluan....................................................................... 1


2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis. . . . . . . . . . . . . . 2


3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi. . . . . . . . . . . . . . . . . .4


4. Model Kompetensi dalam Manajemen SDM. . . . . . . . . . . . . . . . 7


5. Beberapa Kompetensi yg dibutuhkan untuk Masa Depan.. …..11


6.Penutup. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17



DAFTAR PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18









PERANAN KOMPETENSI DALAM PENGEMBANGAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA


1. Pendahuluan.
Permasalahan kompetensi dalam kaitannya dengan pengembangan SDM merupakan wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi dihadapkan pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam. Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .
Dalam pengelolaan SDM suatu organisasi di era kompetisi ini memberi kesadaran bahwa dunia kerja masa kini dan yang akan datang telah mengalami perubahan. Peran SDM dalam organisasi mempunyai arti yang sama pentingnya dengan pekerjaan itu sendiri, sehingga interaksi antara organisasi dan SDM menjadi fokus perhatian para pimpinan di berbagai tingkatan manajemen dan berbagai organisasi baik publik maupun bisnis. Karenanya penting untuk mengadopsi dan mensosialisasikan nilai-nilai (values) baru yang sesuai dengan tuntutan lingkungan organisasi kepada semua unsur dalam organisasi. Ancok dalam Usmara (2002, 139) menyebutkan pergeseran pandangan tentang SDM sebagai refleksi dari adanya revitalisasi peran SDM dalam kegiatan organisasi yang memandang “manusia tidak lagi dianggap sebagai biaya tetapi dianggap sebagai aset (modal), Karyawan tidak lagi
difokuskan untuk ‘berkompetensi’ pada kemajuan diri sendiri, tetapi lebih pada kerjasama untuk kepentingan bersama”. Inilah konsekwensi dari.
pergeseran pardigma manajemen sebagaimana dikatakan Alfin Tofler memasuki ke gelombang ke tiga (third wave) dalam manajemen (termasuk dalam manajemen SDM).
2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis
Perkembangan kompetensi sebagai konsep maupun praktek dalam manajemen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan Manajemen Sumberdaya Manusia itu sendiri. Timbulnya teori motivasi pada dekade empat puluhan dengan Maslow sebagai pelopornya merupakan bukti konkrit bahwa penekanan pentingnya sumberdaya manusia sebagai aset,potensi yang memiliki pengaruh besar terhadap kemajuan organisasi di sektor bisnis maupun publik. Salah satu kebutuhan yang diperlukan perusahaan/organisasi adalah menyangkut kompetensi SDM. Hal ini mengingat kini organisasi menghadapi berbagai kemajuan di bidang informasi dan teknilogi sehingga diperlukan orang yang memiliki keahlian tertentu.
Istilah “kompetensi” sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menurut Organisasi Industri Psikologi Amerika (Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992) gerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970. Menurut gerakan tersebut banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa hasil test sikap dan pengetahuan, prestasi belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksi kinerja atau keberhasilan dalam kehidupan. Unsur tersebut sering menimbulkan bias terhadap minoritas, wanita dan orang yang berasal dari strata sosio ekonomi yang rendah.



Temuan tersebut telah mendorong dilakukan penelitian terhadap variabel kompetensi yang diduga memprediksi kinerja individu dan tidak bias dikarenakan faktor rasial, jender dan sosio ekonomi. Oleh sebab itu beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
• Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam pekerjaannya dengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini perlu diidentifikasikan karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan tersebut.

• Mengidentifikasikan pola perilaku individu yang berhasil. Pengukuran kompetensi harus menyangkut reaksi individu terhadap situasi yang terbuka ketimbang menggantungkan kepada pengukuran responden seperti test “multiple choice” (pilihan ganda) yang meminta individu mem8ilih alternatif jawaban. Prediktor yang terbaik atas apa yang dapat dilakukan oleh seseorang adalah mengetahui apa yang dipikirkan individu secara spontan dalam situasi yang tudak terstrutur. (Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992) Pertanyaan yang harus di jawab atas permasalahan tersebut
adalah jika cara klasik menggunakan pengukuran sikap tidak memprediksi kinerja. Menurut David Mc. Clellands dalam (Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992), yang harus dilakukan adalah:

Pertama, mencari individu yang memiliki kinerja yang tinggi, dan membandingkannya dengan individu yang berkinerja rendah.

Kedua, mengembangkan teknik Behavioral Event Interview (BEI) yang menggabungkan teknik seleksi sebelumnya (critical incident method) dalam teknik yang baru. Falnagan lebih tertarik untuk mengindentifikasikan unsur tugas dalam pekerjaan, sementara Mc.Clelland lebih tertarik kepada karakteristik SDM yang

melakukan pekerjaan dengan baik. Teknik BEI meminta individu- individu untuk memikirkan beberapa aspek penting atas keadaan yang berkaitan dengan pekerjaannya sehingga menimbulkan hasil yang baik atau buruk.

Ketiga, menganalisis transkrip BEI atas informasi tentang keberhasilan dan ketidakberhasilan para pemimpin untuk mengindentifikasi karakteristik yang membedakan kedua sampel tersebut. Analisis biasanya lebih ditekankan kepada perilaku yang menunjukkan kinerja yang tinggi ketimbang yang rata-rata. Perbedaan kedua karakteristik tersebut diterjemahkan kedalam tujuan dan definisi sistem skoring yang dapat dipercaya oleh masing-masing pengamat.
Adapun esensi dari teori Mc.Clelland tentang pendekatan penilaian kompetensi terhadap job analisys, bahwa penelitian lebih menekankan kepada orang-orang yang melakukan pekerjaan dan berkinerja baik, dan mendifinisikan job berdasarkan karakteristik dan perilaku orang-orang tersebut, ketimbang menggunakan pendekatan tradisional dengan menganalisis unsur yang ada dalam job tersebut.
3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi

Kompetensi didefenisikan (Mitrani et.al, 1992; Spencer and Spencer, 1993) ; “an underlying characteristics of an individual which is related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or situation (sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efetivitas kinerja individu dalam pekerjaannya) .
Berdasarkan difinisi tersebut bahwa kata “ underlying charateristic” mengandung makna kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Sedangkan kata “causally related” berarti kompetensi adalah suatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja.


Sedangkan kata “Criterion- referenced” mengandung makna bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Misalnya, kriteria volume penjualan yang mampu dihasilkan oleh seseorang tenaga.
Kompetensi dapat berupa penguasaan masalah, ketrampilan kognitif maupun ketrampilan perilaku, tujuan,perangai, konsep diri, sikap atau nilai. Setiap orang dapat diukur dengan jelas dan dapat ditunjukkan untuk membedakan perilaku unggul atau yang berberstasi rata-rata. Penguasaan masalah dan ketrampilan relatif mudah diajarkan, mengubah sikap dan perilaku relatif lebih sukar. Sedangkan mengubah tujuan dapat dilakukan tetapi prosesnya panjang,lama dan mahal.
Penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan agar dapat mengetahui tingkat kinerja yang diharapkan untuk katagori baik atau rata-rata. Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan tentunya akan dapat dijadikan dasar bagi proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan pengembangan SDM. Menurut Spencer and Spencer (1993), Mitrani et. Al, (1992), terdapat 5 (lima) karakteristik kompetensi, yaitu :

“Knowledge” adalah informasi yang memiliki seseorang untuk bidang tertentu. Pengetahuan (knowledge) merupakan kompetensi yang kompleks. Skor atas tes pengetahuan sering gagal untuk memperidiksi kinerja SDM karena skor tersebut tidak berhasil mengukur pengetahuan dan keahlian seperti apa seharusnya dilakukan dalam pekerjaan. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
“Skill” adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu
baik secara pisik maupun mental. Misalnya, seorang dokter gigi secara pisik mempunyai keahlian untuk mencabut dan menambal gigi tanpa harus merusak saraf.

Selain itu kemampuan seorang programer komputer untuk mengorganisasikan 50.000 kode dalam logika yang sekuensial.
• Motives adalah drive, direct and`select behavior to ward certain
actions or goals and away from other
Seseorang memiliki motif berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberikan tantangan pada dirinya dan bertanggungjawab penuh untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan feed back untuk memperbaikii dirinya.
“Traits” adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu. Misalnya percaya diri (self-confidence), kontrol diri (self-control), steress resistance, atau hardiness (ketabahan / daya tahan).

• “Self-Concept” adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui bagaimana value (nilai) yang dimiliki seseorang, apa yang menarik bagi seseorang melakukan sesuatu. Seseorang yang dinilai menjadi “leader” seyogyanya memiliki perilaku kepemimpinan sehingga perlu adanya tes tentang leadership ability.
Dalam kaitannya dengan karakteristik ke lima kompetensi tadi, maka dapat dikatakanadanya 3 kecenderungan yang terjadi:

Pertama , bahwa kompetensi pengetahuan (Knowledge Competencies) dan kahlian (Skill Competencies) cenderung lebih nyata (visible) dan relatip berada di permukaan sebagai salah satu karakteristik yang dimiliki manusia. Oleh karenanya kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif mudah untuk dikembangkan sehingga program pelatihan merupakan cara yang baik untuk menjamin tingkat kemampuan SDM.
Kedua, motif kompetensi dan “trait” berada pada “personality iceberg” sehingga cukup sulit untuk dinilai dan dikembangkan sehingga salah satu cara yang paling efektif adalah memilih karakteristik tersebut dalam proses seleksi.


Ketiga, self-concep (konsep diri), trait (watak / sifat) dan motif kompetensi
lebih tersembunyi (hidden), dalam (deeper) dan berada pada titik central
kepribadian seseorang (Spencer and Spencer, 1993). Konsep diri (self-
concept) terletak diantara keduanya. Sedangkan sikap dan nilai (values)
seperti percaya diri “self-confidence” (seeing ones self as a “manajer”

instead of a “technical/profesional”) dapat dirubah melalui pelatihan,
psikoterapi sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan sulit.
Dengan melihat kecenderungan di atas, maka dapat memberikan gambaran pada manajemen bagaimana upaya meningkatkan kualitas SDM ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya. Disisi lain bahwa karakteristik tersebut memiliki hubungan satu dengan yang lain yang saling menentukan.
4. Model Kompetensi dan Pendekatan yang Terintegrasi dalam
ManajemenSumber Daya Manusia.
Model kompetensi adalah suatu cara bagaimana memetakan suatu sistem pemikiran yang dapat memberi gambaran terintegrasi mengenai kompetensi kaitannya dengan strategi manajemen SDM. Dalam konteks strategi manajemen SDM tersebut terdapat beberapa unsur terkait yakni 1. sistem rekruitmen dan seleksi, 2. Penempatan dan rencana suksesi, 3. Pengembangan karier 4, Kompensasi . Adapun penjelasan selanjutnya sebagai berikut :
Pertama, sistem rekruitmen dan seleksi .
Sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi biasanya memusatkan pada metode seleksi yang dapat digunakan untuk memilih sejumlah calon dari populasi pelamar yang cyukup besar secara cepat dan efisien. Seleksi dalam proses rekrutmen memerlukan tantangan yang khusus, seperti menseleksi dari jumlah pelamar dalam

kurun waktu yang pendek. Oleh karena itu sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi perlu menekankan kepada usaha mengindetifikasikan 3 kompetensi yang memenuhi kriteria seperti :
• Kompetensi yang telah dikembangkan dan diperlihatkan oleh pelamar
dalam suatu pekerjaan (misalnya : inisiatif)

• Kompetensi yang dapat mempridiksi prospek keberhasilan calon pegawai jangka panjang dan kompetensi tersebut sulit dikembangkan melalui training atau pengalaman kerja (misalnya : Motivasi berprestasi).

• Kompetensi yang dapat dipercaya dengan menggunakan wawancara perilaku yang singkat dan tertentu. Misalnya, jika kolaborasi tim ladership merupakan kompetensi yang diinginkan, para pewancara dapat meminta calon menunjukkan kompetensi tersebut.

Kedua, Penempatan dan rencana suksesi
Penetapan dan rencana suksesi berbasis kompetensi memusatkan kepada usaha identifikasi calon yang dapat memberikan nilai tambah pada suatu pekerjaan organisasi. Oleh karena itu, sistem seleksi dan penetapan harus menekankan kepada identifikasi kompetensi yang paling dibutuhka bagi kepentingan suatu pekerjaan tertentu. Usaha yaqng dilakukan adalah mengunankan sebanyak mungkin sumber informasi tentang calon sehingga dapat ditentukan apakah calon memiliki kmpetensi yang dibutuhkan .
Metode penilaian atas calon yang dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti wawancara perilaku (behavioral event review) tes, simulasi lewat assesment centers, menelaah laporan evaluasi kinerja atas penilaian atasan, teman sejawat dan bawahan,

calon pegawai direkomendasikan untuk promosi atau ditetapkan pada suatu pekerjaan berdasarkan atas rangking dari total bobot skor berdasarkan kriteria kompetensi.
Ketiga , Pengembangan Karier
Kebutuhan kompetensi untuk pengembangan dan jalur karier akan menentukan dasar untuk pengembangan karyawan. Karyawan yang dinilai lemah pada aspek kompetensi tertentu dapat diarahkan untuk kegioatan pengembangan kompetensi tertentu sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerjanya. Beberapa pilihan pengembangan kompetensi termasuk pengalaman “ássessment center”, lembaga-lembaga training, pemberian tugas-tugas pengembangan, mentor dan sebagainya.
Proses perolehan kompetensi (competency acquisition process)
telah dikembangkan untuk meningkatkan tingkat kompetensi yang meliputi:
•Recognition; suatu simulasi atau studi kasus yang memberikan
kesempatan peserta untuk mengenali satu atau lebih kompetensi yang dapat memprediksi individu berkinerja tinggi di dalam pekerjaannya sehingga seseorang dapat belajar dari pengalaman simulasi tersebut.

•Understanding; instruksi khusus termasuk modelling perilaku tentang
apa itu kompetensi dan bagaimana penerapan kompetensi tersebut.

•Assessment; umpan balik kepada peserta tentang berapa banyak kompetensi yang dimiliki peserta (membandingkan skor peserta) .Cara ini dapat memotivasi peserta mempelajari kompetensi sehingga mereka sadar adanya gap antara kinerja yang aktual dan kinerja yang ideal.

•Feedback; suatu latihan dimana peserta dapat mempraktekkan kompetensi dan memperoleh umpan balik bagaimana peserta dapat melaksanakan pekerjaan tertentu dibanding dengan seseorang yang berkinerja tinggi.

•Job Application; peserta menetapkan tujuan dan mengembangkan
tindakan yang spesifik agar dapat menggunakan kompetensi di dalam
kehidupan nyata.

Keempat, Kompensasi untuk Kompetensi dan Manajemen Kinerja
Sistem kompensasi yang didasarkan pada keahlian secara ekplisit mengkaitkan reward terhadap pengembangan keahlian. Cara ini sangat tepat untuk dilakukan apabila karyawan tidak memiliki kontrol terhadap hasil-hasil kinerjanya.
Efektifitas evaluasi kinerja tergantung pada ketepatan penggunaan masing-masing bentuk data yang ditentukan sebagai sasaran suatu sistem dan tingkat pengawasan atas kinerja karyawan untuk masing-masing variabel yang dinilai. Data hasil kinerja biasanya digunakan untuk keputusan pemberian “reward”. Jika karyawan mempunyai pengawasan yang bersifat individual atas hasil suatu pekerjaan (misalnya, dalam kerja tim), maka reward hanya akan didasarkan atas hasil tersebut. Hasil pekerjaan tersebut tentunya dapat mengakibatkan demotivasi bagi individu yang berkinerja tinggi. Dalam hal ini beberapa porsi “reward” harus didasarkan atas “job behavior”. Data job behavior biasanya digunakan untuk keputusan pengembangan skill individu. Misalnya, bagaimana evaluasi terhadap kinerja manajer Y menunjukkan adanya kelemahan dalam aspek Motivator , maka orang tersebut dapat disarankan untuk mengikuti pelatihan Achievement Motivation Training (AMT) untuk mengembangkan keahliannya.
6. Beberapa Kompetensi yang dibutuhkan untuk Masa Depan

Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap manajer kecuali bagaimana organisasi/perusahaan mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik lebih pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat ,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan citra yang baik dimata

masyarakat. Dari pemikiran tersebut , maka kompetensi yang dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki penekanan yang spesifik, kendati tidak berarti sesuatu yang berbeda dengan level lainnya. Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif, manajer/pimpinan dan karyawan.

1. Tingkat Eksekutif
Kompetensi apa yang dibutuhkan ,hal ini sangat tergantung pada organisasi apa mereka bergerak dengan melakukan analisis terhadap kebutuhan dan dinamika perubahan lingkungan. Tapi pada umumnya pada tingkat pimpinan /eksekutif diperlukan beberapa kompetensi , yakni
(1) strategic thingking;

(2) change leadership dan
(3) relationship management.
Strategic thingking adalah kompetensi untuk memahami kecenderungan ancaman, kekuatan dan kelemahan organisasi agar dapat mengidentifikasikan “strategic response” secara optimum. Strategi ini dilakukan melalui analisis SWOT yang akan memberikan gambaran nyata terhadap kekuatan,kelemahan,peluang dan ancaman yang mungkin bakal dihadapi organosasi/perudsahaan. Analisis ini memerlukan kemampuan konseptual kognitif dengan berbagai pertimbangan rasional yang dapat diuji tingkat kebenarannya.
Dari aspek change leadership yakni kompetensi untuk mengkomunikasikan visi dan strategi perusahaan dapat ditransformasikan kepada pegawai/karyawan terkait. Pemahaman atas visi organisasi oleh para karyawan akan mengakibatkan motivasi dan komitmen sehingga karyawan dapat bertindak sebagai sponsor inovasi dan “enterpreneurship” terutama dalam mengalokasikan sumber daya organisasi sebaik mungkin untuk menuju kepada proses perubahan.

adalah kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan semua pihak terkait baik dengan unsur pemerintah, masyarakat, maupun stakeholder lainnya. Kerjasama dengan negara lain sangat dibutuhkan bagi keberhasilan organisasi.
2. Tingkat Manajer

Pada tingkat manajer, paling tidak diperlukan aspek-aspek
kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation, interpersonal
understanding and empowering. Aspek fleksibelitas adalah kemampuan
merubah struktur dan proses manajerial; apabila strategi perubahan organisasi diperlukan untuk efektivitas pelaksanaan tugas organisasi. Dimensi “interpersonal understanding” adalah kemampuan untuk memahami nilai dari berbagai tipe manusia. Aspek pemberdayaan (empowerment) adalah kemampuan berbagai imformasi, penyampaian ide- ide oleh bawahan, mengembangkan pengembangan karyawan, mendelegasikan tanggungjawab, memberikan sarau umpan balik, menyatakan harapan-harapan yang positif untuk bawahan dan memberikan
reward bagi peningkatan kinerja. Kesemua faktor-faktor tersebut membuat
karyawan merasa termotivasi dan memiliki tanggung jawab yang lebih
besar.
Adapun dimensi “team facilitation” adalah kemampuan untuk menyatukan orang untuk bekerja sama secara efektif dalam mencapai tujuan bersama; termasuk dalam hal ini adalah memberikan kesempatan .
setiap orang untuk berpartisipasi dan mengatasi konflik. Sedangkan dimensi “portability” adalah kemampuan untuk beradapsi dan berfungsi secara efektif dengan lingkungan luar negeri sehingga manajer harus “portable” terhadap posisi-posisi yang ada di negara manapun

3. Tingkat Karyawan (tingkat pelaksana)
Pada tingkat karyawan diperlukan kualitas kompetensi seperti fleksibelitas; kompetensi motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi berprestasi, motivasi kerja di bawah tekanan waktu; kolaborasi, dan orientasi pelayanan kepada pelanggan. Dimensi fleksibelitas adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang mengembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi, motivasi dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasme untuk mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal.
Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk mendorong inovasi; perbaikan berkelanjutan dalam kualitas dan produktifitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tanyangan kompetensi. Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi fleksibelitas, motuvasi berprestasi, menahan stress dan komitmen organisasi yang membuat individu bekerja dengan baik dibawah permintaan produk-produk baru walaupun dalam waktu yang terbatas. Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam
kelompok yang multi disiplin; menaruh harapan positif kepada yang lain,
pemahaman interpersonal dan komitmen organisasi.
Sedangkan dimensi yang terakhir untuk karyawan adalah keinginan yang besar untuk melayani pelanggan dengan baik; dan inisiatif untuk mengatasi hambatan-hambatan di dalam organisasi agar dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pelanggan.
Dalam kaitan dengan kualitas sumberdaya birokrasi yang berkembang dalam organisasi publik dalam mendukung konsepg o o d governance , Tjokrowinoto (2001:27) menyebutkan bahwa kompetensi yang diperlukan bagi seorang birokrat mencakup . a.l :

1. Memiliki sensitivitas dan responsivitas terhadap peluang dan
tantangan baru yang timbul di dalam pasar ,

2. Mempunyai wawasan pengetahuan ( knowledge) , ketarampilan
(skill) dan sikap perilaku (attitude) yang relevan dengan
visi,misi dan budaya kerja organisasi .
3. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumberdaya
yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang
berproduksi rendah menuju kegiatan yang berproduksi tinggi,
4. Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi
instrumental birokrasi, tetapi harus mampu melakukan
terobosan ( break throuh ) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif.
5. Dapat bekerja secara profesional dan komitmen pada prestasi, loyalitas,dedikasi pada pekerjaan dan organisasi.
6. Memilki jiwa entrepreneurship yang tinggi dan kosnsisten
Kompetensi yang dimiliki oleh pegawai /karyawan ini tentu tidak begitu saja muncul, tantu diperlukan perencanaan pengembangan SDM, komitmen Pimpinan dan seluruh unit/divisi terkait ,kearah kemajuan dan daya dukung instrumen lainnya, termasuk soal rewards dan punishment. Upaya ke arah tersebut tentu menjadi sebuah keniscayaan,kendati dalam penerapannya tentu disesuaikan dengan kemampuan, iklim organisasi dan budaya kerja yang tengah dikembangkan.









6.Penutup.

Berlandaskan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat penulis
simpulkan sebagai berikut :

1. Pergeseran pandangan tentang SDM sebagai refleksi dari adanya revitalisasi peran SDM dalam kegiatan organisasi yang memandang manusia sebagai salah satu faktor keberhasilan organisasi dalam merealisasikan misinya sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian bagaimana upaya manajemen meningkatkan kualitas SDM ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya.
2. Kompetensi sangat diperlukan bagi organisasi yang adaptif terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat maupun pasar. Didalamnya menyangkut perubahan paradigma , orietasi, nilai, perilaku ,struktur , tujuan yang berkinerja tinggi . Kompetensi bagi organisasi/ karyawan menjadi hal yang krusial tetapi sekaligus sebuah keniscayaan , karena berbagai tantangan dan keterbatasan.
3. Kompetensi yang dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki penekanan yang spesifik, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan organisasi. Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif, manajer/pimpinan dan karyawan. Pada tingkat pimpinan /eksekutif diperlukan beberapa kompetensi , yakni (1) strategic thingking; (2) change leadership dan (3) relationship management. Pada tingkat manajer, kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation,
interpersonal understanding and empowering , Pada tingkat karyawan
diperlukan kualitas kompetensi seperti fleksibelitas; kompetensi motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi berprestasi, kolaborasi, dan orientasi pelayanan kepada pelanggan.
4. Dalam Organisasi publik kompetensi lebih di orietasikan pada aspek entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas , mempunyai wawasan pengetahuan (

knowledge) , ketrampilan (skill) dan sikap perilaku (attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja organisasi .
5. Karakteristik kompetensi dan keterkaitan penerapannya dengan seleksi, perencanaan suksesi, pengembangan, sistem penghargaan dan manajemen kinerja sangat membantu keberhasilan organisasi agar tetap surveve dan berkembang.



DAFTAR PUSTAKA

Gilley. W.J and May Cunich, Ann, 2000, Beyond the Learning
Organization: Creating a Culture Growth and Development Through
State of the Art Human Resource Practice. Perseus Book, USA.

Janszen, Felix, 2000, The Age of inovation. Pearson Education Limited,
Great Britain.

Mitrani, A, Daziel, M. And Fitt, D. ,1992, Competency Based Human
Resource Mangement: Valua-Driven Strategies for Recruitmen,
Development and Reward; Kogan Page Limited: London

Spencer, M. Lyle and Spencer, M. Signe ,1993, Competence at Work
Modelas for Superrior Performance, John Wily & Son, Inc, New
York, USA.

Tangkilisan, Hessel Nogi.S, 2005, Manajemen Publik, Jakarta, Gramedia
Widiasara Indonesia.

Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi dalam
Polemik,Yogyakarta,Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar